WELCOME TO BLOGGER FATHULLAH SYAHRUL

Rabu, 26 April 2017

PMII di Tengah Ancaman Arus Globalisasi



(Refleksi Hari Lahir Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Ke 57 Tahun)

"Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda"
- Tan Malaka

Pesan tersirat Tan Malaka adalah sebuah refleksi terhadap kaum muda di zamannya. Kaum muda sebagai manifestasi revolusi yang dilandasi oleh idealisme menjadi bentuk kemewahan yang maharnya tidak semahal uang panai'. Karena memang kemewahan idealisme kaum muda merupakan batu loncatan untuk menghadapi zaman ditengah ancaman arus globalisasi.

Jika, Tan Malaka masih menghirup udara segar di negeri ini dan melihat kaum muda saat ini, mungkin Tan Malaka lebih memilih untuk mati saja. Sebab, menemukan kaum muda yang masih konsisten di garis idealisme sangat sulit ibarat mencari jarum di tengah tumpukan jerami.

Di zaman Tan Malaka kaum muda menggunakan idealisme untuk melepaskan belenggu dari kolonial Belanda dan segala bentuk penindasan (dehumanisasi). Sedangkan saat sekarang ini idealisme hanya digunakan sebagai alat untuk kepentingan pribadi, ibarat ideaslisme itu redup bahkan hilang disaat masyarakat sangat membutuhkannya.

Idealisme sangat sulit menemui tuannya (Kaum Muda). Karena, idealisme ini hanya segelintir orang yang komitmen dalam menerapkannya. Mengapa demikian? Karena idealisme seseorang akan runtuh ketika diperhadapkan dengan materi.

Degradasi idealisme yang telah melanda kaum muda menjadi penyebab terbesarnya. Degradasi inilah yang mestinya harus diminimalisir oleh mereka namun, bukan hanya sekadar meminimalisir tetapi yang terpenting adalah melakukan action yang lebih produktif lagi.

Hakikat Kehidupan Ditemukan Pada Sosok Perempuan


(Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur Memoar Luka Seorang Muslimah)

“Ketidakmampuan kita untuk menjalani takdir yang sudah digariskan Tuhan berarti itu adalah titik kelemahan terhadap takdir itu sendiri”

- Fathullah Syahrul

Sejarah telah mencatat bahwa, manusia dilahirkan dimuka bumi ini disebakan oleh sebuah kecelakaan fatal kehidupan yang dialami oleh ciptaan Tuhan (Adam dan Hawa). Mereka harus jauh dari kenikmatan surga diakbitkan karena, kejadian singkat namun efeknya panjang yaitu kehidupan di dunia yang fana ini. Dan efek dari kejadian yang singkat dan fatal itu dialami oleh seorang muslimah yang bernama Nidah Kirana, perjalanannya mencari hakikat kehidupan tercatat jelas dalam karya novel yang ditulis oleh Muhidin M Dahlan.

Perjalanan itu bermula ketika dirinya sedang dalam kebingungan mencari makna hakiki dari sebuah kehidupan. Saat dirinya bergabung dan di baiat oleh jemaah yang memperjuangkan syariat Islam dan negara Islam iapun sangat menikmati, dimana dari perjalannanya itu ia merasa lebih dekat dengan sang pencipta. Sejak bergabung jemaah itu, ia merasa bahwa, menjalani hidup didunia ini sungguhlah menyenangkan ketika kita didukung oleh para jemaah yang secara terang-terangan memperjuangkan berdirinya negara Islam. Karena, hanya Islamlah yang akan membuat negara ini tentram dan aman.

Namun, sebuah fenomena besar kembali ia rasakan saat dirinya ingin mengetahui apa maksud dan tujuan dari gerakaan jemaah ini. Tetapi pertanyaan Kiran nampaknya seperti cermin tiada yang menggubris hanya untaian kata “kalau mau berjuang di jalan Allah tidak usah bertanya sebab, ini adalah perintah Allah yang harus di jalankan,” pernyataan itu selalu berulang-ulang. Kiran harus rela mengorbankan waktu, tenaga bahkan uang yang selalu dikirim oleh kakaknya yang ada di Amerika hanya untuk memberikan infaq kepada jemaah ini. Selama dirinya bergabung dalam jemaah tersebut selama itu pula jawaban dari pertanyaan yang selalu menghantui Kiran tak ujung terjawab, hingga pada suatu ketika dirinya mengambil sikap bahwa, jemaah ini sangat tidak layak untuk mencari jati diri sebab, jemaah ini terlalu tertutup dalam hal keterangannya tentang tujuan jemaah ini.

Senin, 10 April 2017

Potret Utuhnya Rasionalisme

Sejarah panjang nan pelik jika kita coba mengulas rasionalisme. Apalagi diberikan embel-embel atau judul-judulan ‘potret utuh rasionalime’. Maraknya pandangan kaum intelektual mempersepsi rasionalisme, membuktikan paradigma ini masih seksi untuk didiskusikan atau dibedah menjadi beberapa tulisan kecil. Ada yang pro membela mati-matian paham ini, ada pula yang kontra mencaci rasionalisme. Dalam bebeberapa literatur ilmiah, rasionalisme sering dipandang sebagai simbol modernitas. Lahirnya paradigma ini menjadi anti-tesa dari bentuk dogamtis pengetahuan gereja di Eropa abad petengahan, namun belakangan penyebutan eropa ‘abad pertengahan’ diganti oleh orang-orang modern sebagai zaman ‘abad kegelapan’ (dark age). Dikatakan sebagai masa kegelapan karena pengetahuan akal dikunci oleh hegemoni dan dominasi yang ditampilkan oleh gereja di masa itu. Paradigma inipun muncul sebagai kemenangan rasio atas gereja. Maka muncullah istilah aufklarung (pencerahan) dan reinasaince (kelahiran kembali) sebagai simbol bangkitnya manusia sebagai individu (rasional) yang bebas  berpengatahuan.

Di sisi lain paradigma Rasionalisme dipandang sebagai sebuah gagasan yang meragukan kebenaran-kebenaran ajaran (teks) agama. Tokoh-tokoh rasionalisme, dalam beberapa dalil pengetahuannya mencoba menyangsikan teks suci agama sebagai sebuah representasi atas refleksi terhadap dimensi metafisika. Alhasil rasionalisme dikategorikan sebagai  cara pandang sesat dalam proses berpengetahuan. Tidak jarang seorang itelektual yang memakai paradigma rasionalisme diklaim sebagai intelektual kafir, Bid’ah. Dari deskripsi tersebut diatas, penulis mencoba melakukan pelacakan akar pengetahuan Rasionalisme dengan melakukan pembedahan inti gagasan setiap tokoh yang menjadi representasi Paradigma Rasionalisme. Tentu saja penulis berangkat dari sebuah asumsi bahwa kesadaran yang hadir.

Islam dan Kebhinekaan

Sebagai negara majemuk dihuni oleh beberapa suku, agama, ras dan budaya. Tolok ukur Indonesia sebagai negara yang majemuk terletak pada keberagaman. Keberagaman, itu dikukuhkan dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu.

Dalam aspek agama misalnya, Indonesia salah satu negara yang cukup beragama, agama dan kepercayaan (pluralisme). Karena itu, agama sebagai penopang hidup atau bingkai bernegara dan bermasyarakat harus diarahkan untuk menerima dan merawat perbedaan sebagai bagian dari kekuatan bernegara (Bhineka Tunggal Ika).

Kekuatan itu ditandai melalui 4 pilar kebangsaan Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Undang-undang 1945, dan Bhineka Tunggal Ika yang semuanya itu merupakan bentuk keberagaman sebagai perekat kekuatan bangsa Indonesia dengan kemajemukannya dalam suku, agama, ras dan budaya. 

Artinya, Kekuatan keberagaman (kebhinekaan) yang bersatu padu, bahu-membahu dan gotong royong adalah kenyataan yang tak terbantahkan. Gotong royong merupakan cerminan aspek kehidupan bangsa sebagai pondasi perekat bangsa ditengah keberagaman.

Senjakala PMII?

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang disingkat PMII adalah organisasi kemahasiswaan yang dideklarasikan pada 17 April 1960 di gedung Madrasah Mualimin Nahdlatul Ulama (NU) Wonokromo Surabaya oleh 13 mahasiswa NU dari berbagai daerah. Organisasi ini merupakan organisasi tradisionalis di berbagai perguruan tinggi, sebagai organisasi kemahasiswaan posisi PMII semakin diperhitungkan terbukti ketika gerakan PMII mampu mewarnai gerakan mahasiswa pada saat itu. Membawa nilai-nilai Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah yang berasaskan Pancasila dan menjaga keutuhan bangsa dan negara.

Melalui sumber daya PMII yang kiat melakukan kaderisasi, kader PMII selalu terlibat dalam setiap momen perubahan. Pada kongres ke-II di Yogyakarta pada masa orde lama PMII menyatakan tekadnya untuk selalu berpihak kepada amanah penderitaan rakyat yang kemudian di implementasikan dalam dokumen "Penegasan Yogyakarta". Pada saat itu juga PMII mendukung atas terselenggaranya Konferensi Asia Afrika dalam rangka menginisiasi kemerdekaan serta pentingnya kerjasama internasional.

Pada masa orde baru periode keempat dibawah pimpinan sahabat Zamroni, PMII semakin diperhitungkan dikalangan organisasi kemahasiswaan, terbukti ketika Ketua PB PMII masa khidmat 1967-1973 itu terpilih sebagai Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), PMII juga mencetuskan dokumen historis yang dikenal dengan "Tri Sikap Jakarta". Salah satu momentum bersejarah yang juga dicetuskan PMII adalah independensi PMII pada tanggal 14 Juli 1972 di Malang Jawa Timur yang dikenal dengan "Deklarasi Murnajati". Sepanjang sejarah PMII telah dipimpin oleh 26 Ketua Umum (Lacak Sejarah PMII).